BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam perkembangan filsafat pada zaman Yunani Klasik itu berbeda dari sebelumnya.
Pada zaman ini dimana terlahir suatu mazhab, yaitu mazhab sofis yang ada pra
Socrates. Dalam kajian filsafatnya kaum sofis itu menjadikan alam sebagai
persoalan pokoknya, melainkan persoalan pokok tentang manusia. Dimana manusia
adalah ukurun segala-galanya.
Antara kaum
sofis dan Socrates dalan kajian filsafatnya itu tidaklah jauh berbeda. Dimana
mereka sama-sama membahas entang manusia, etika, moral dan politik. Yang mana
jauh dari filsafat sebelumnya. Namun diantara keduanya memiliki satu perbedaan
yang sangat penting. Mnurut kaum sofis, suatu kebenaran itu adalah relatif;
sedangkan menurut Socrates ada kebenaran yang objektif dan juga universal.
Sesuai dengan
arti dari kata sofis yaitu pandai dan cerdik. Mereka kaum sofis adalah
orang-orang yang pandai berpidato dan berdebat. Namun pada saat itu kepandaian
dan keterampilan mereka dalam berdebat itu disalahgunakan. Dalam filsafatnya
menurut kaum sofis kebenaran itu adalah relatif.
Sedangkan
dalam filsafat yang dikemukan Socrates yag mana kebenaran itu ada yang objektif
dan universal. Dalam metodenya Socrates menggunakan metode dialektika yang
artinya bercakap-cakap atau berdialog. Filsafat
Socrates juga
banyak membahas mengenai
masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan
bukanlah kekayaan atau pun kehormatan,
melainkan kesehatan jiwa. Prasyarat utama dalam hidup manusia adalah jiwa yang
sehat. Dan tujuan
hidup yang paling utama adalah kebahagian ( eudaimonia / happiness). Menurut Socrates bahwa eudaimonia
merupakan tujuan utama kehidupan. Jalan atau cara untuk mencapai kebahagiaan
adalah arete (kebajikan). Orang yang bajik adalah orang yang mampu hidup
bahagia.
B.
Perumusan
Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan sofis?
2.
Bagaimanakah
ajaran filsafat ketika dipengaruhi oleh doktrin-doktrin sofisme?
3.
Siapa
sajakah tokoh para sofisme dalam kajian filsafatnya?
4.
Bagaimanakah
pemikiran socrates yang berkembang bersamaan dengan mazhab sofis?
5.
Adakah
perbedaan antara sofisme dan socrates dalam kajian filsafat?
C.
Tujuan
penulisan
1.
Untuk
mengetahui filsafat pada zaman yunani klasik serta tokohnya
2.
Untuk
mengetahui pemikiran filsafat pada mazhab Sofis dan Socrates
3.
Agar
bisa mengembangkan pemikiran-pemikiran tentang objek filsafat tersebut
4.
Untuk
menegakkan keadilan yang telah pudar dimasyrakat dengan ilmu pengetahuan dalam
kajian filsafat
5.
Mencari
kebenaran suatu masalah
BAB II
MAZHAB SOFIS DAN SOCRATES DALAM KAJIAN FILSAFAT
- Filsafat
Para Sofis
Antara abad ke-5 sampai dengan 4 SM,
dunia pendidikan dan pengajaran di yunani dijalankan oleh para sofis. Mereka
(para sofis) adalah seorang yang sangat mahir berpidato, berdebat sekaligus
mendidik pada zaman itu. Para sofis mendidik anak-anak muda dengan berpidato di pasar-pasar atau pusat
keramaian yang dinamakan dengan Agora,
disetiap negara kota itu
dinamakan dengan polis. Pada saat itu di Yunani dalam pendidikan dan pengajarannya diambil alih oleh para sofis.[1]
Ajaran para sofis sangat berbeda dengan
para filsuf sebelumnya, para filsafat alam. Para sofis tidak tertarik dengan
filsafat alam, ilmu pasti, atau metafisika waktu itu. Mereka menilai
filsafat-filsafat sebelumnya terlalu mengawang-awang (terlalu jauh
pemikirannya). Para sofis ini lebih tertarik pada hal-hal yang lebih konkret
(nyata), seperti halnya: makna hidup manusia, moral, norma, dan politik.
Hal-hal inilah yang perlu dianggap perlu diajarkan pada generasi muda yang
sebagai penerusnya dan dikembangkan untuk kelangsungan negara.
Namun, kepandaian dan keterampilan para
sofis dalam berdebat itu disalahgunakan.
Hal itu dilakukan untuk membalikkan kebenaran-kebenaran dan moralitas-moralitas
yang ada dalam kehidupan ini. Sebuah kebenaran dan moralitas pada waktu itu
dijadikan sesuatu yang relatif. Para sofis meragukan atas adanya
kebenaran yang objektif dan universal. Karena
mereka meragukan segala sesuatu dan dari itu mereka membuat justifikasi sendiri
tentang suatu kebenaran yang mereka bangun snediri melalui
argumentasi-argumentasi yang subjektif (Bertens, 1975). Akibat dari itu
semua adalah semua orang dianggap memiliki kebenran sendiri, dimana sejauh
mereka memiliki kemampuan dalam berargumentasi dalam perdebatan tersebut[2].
Pemikiran-pemikiran mereka yang terfokuskan
dan terarah pada manusia itu,
membawa
mereka pada keyakinan bahwa manusia
merupakan ukuran segala-galanya. Tidak ada nilai yang baik, benar, atau indah
dalam dirinya sendiri. Semuanya akan dianggap baik, benar dan indah apabila
dihubungkan dengan persepsi individu masing-masing. Akibatnya yaitu bahwa tidak
ada suatu keniscayaan, tidak ada kebenaran yang objektif dan universal.
Semuanya adalah relatif. Para sofis memberi tekanan pada relativisme nilia.
Oleh karena itu, sendi-sendi kepastian dan keyakinana moral dan hukum
dalammasyarakat Yunani menjadi terancam.
Meski nama-nama sofis diasosiasikan
dengan hal-hal yang negative karena pandangan-pandangannya yang relativistik.
Namun harus diakui bahwa tidak semua kaum sofis berpikiran seperti demikian
itu. Tokoh-tokoh seperti Pratogoras (490-420 SM), dan Hippias ( 460 SM). Mereka
adalah tokoh-tokoh yang relatif berwibawa dan terkemuka pada saat itu dan
memiliki reputasi baik dan positif. Disamping itu, ajaran para sofis pun sangat
berharga bagi perkembangan filsafat Yunani, sehingga tidak dapat diabaikan
sumbangannya bagi sejarah filsafat Yunani. Pengaruh mereka sangat besar dalam
filsafat Yunani seperti Socrates (470-399 SM), Plato (428/427-348/347 SM), dan
Aristoteles (384-322 SM) lahir pada zaman para sofis hidup dan dibnesarkan di
antara mereka[3].
Pokok-
pokok ajaran kaum sofis sebagai berikut[4]:
a.
Manusia
menjadi ukuran segala-galanya;
b.
Kebenaran
hanya berlaku sementara;
c.
Kebenaran
tidak terdapat pada diri sendiri.
Dengan ajaran demikian, yang telah
dijelaskan sebelumnya diatas
sofisme tergolong aliran relatifisme. Ajaran sofisme juga memiliki pengaruh
yang baik waktu itu, yaitu melahirkan banyak orang terampil berpidato. Di
samping itu, akal manusia di hargai. Akan tetapi, negatifnya ajaran ini
menjadikan orang tidak bertanggung jawab atas ucapannya, sebab apa yang di
katakan hari ini untuk sesuatu, bisa
saja untuk hari besoknya berlainan dengan dalih bahwa kebenaran hanya berlaku
sementara.
مع مثل هذه
التعاليم، التي تنتمي الى تدفق مغالطة ivisme relat. تعاليم مغالطة أيضا أن يكون لها الوقت المناسب،
والتي أنتجت العديد من الأشخاص ذوي المهارات الكلام. وبالإضافة إلى ذلك، في احترام
العقل البشري. ومع ذلك، فإن الجانب السلبي من هذا التعليم يجعل الناس ليست مسؤولة
عن كلماته، وذلك لأن ما يقال اليوم على شيء، فإنه يمكن أن تكون مختلفة في اليوم
التالي ليوم بحجة أن الحقيقة ليست سوى تأثير مؤقت.[5]
B.
Para tokoh Sofis
1.
Pytagoras
Adalah
salah satu filosof sofisme yang lahir kira-kira tahun 500SM di Abdrea. Menurut pemikiran filsafat sofis,
orang adalah ukuran segala sesuatu tentang adanya yang ada dan tentang tidak
adanya yang tidak ada. Ini dapat di tafsirkan bahwa setiap orang adalah ukuran
segala sesuatu, dan jika terjadi pertentangan, tak ada kebenaran objektif
sesuai dengan yang di tentukan mana yang benar dan mana yang salah. Ajaran ini
meskipun sangat skeptis dalam masalah pengetahuan, ia sangat praktis menghadapi
tradisi dan adat istiadat.[6]
Salah Satu tokoh sofisme adalah georgias (480-3800SM).
Gorgias tokoh sofisme yang paling banyak muridnya, walaupun masih banyak lagi
tokoh yang kecil, misalnya hippias, prodikos, dan kritias.[7]
2.
Gorgias
(480-380SM)
Ia lahir di leontinoi, sicilia. Namanya menjadi terkenal
karena ajarannyta dalam bidang retorika atau seni berpidato, dan memang ia
sangat pandai berdebat.
Menurut pendapatnya, yang paling penting adalah bagaimana
dapat meyakinkan orang lain agar menerima pendapat kita. Dengan demikian, dalam
berdebat bukan mencari kebenaran, tetapi
bagaimana memenangkan perdebatan.[8]
Misalnya; dalam suatu kelas ada sebuah diskusi. Didalam diskusi itu terkadang
bukanlah mencari kebenaran tapi mencari kemenangan dan agar diakui oleh
teman-temannya dalam berpendapat.
Pemikirannya yang penting adalah :
a. Mencari keterangan
tentang asal-usul yang ada;
أ.
معرفة أصول القائمة؛
Contoh: ada sebuah artefak disuatu daerah. Dari situ dicarilah
keberadaannya, sejak kapan artefak itu ada, dan bagaimana itu ada serta
fungsinya dimasyarakat lampau itu apa. Dengan menganalisis dan mengumpulkan
data untuk membuktikannya
b. Bagaimana peran manusia sebagai mahluk yang mempunyai kehendak
berfikir karena dengan kehendak berfikir itulah manusia mempunyai pengetahuan
yang nantinya akan menentukan sikap
hidupnya;
ب. كيف يمكن للدور البشر بوصفهم كائنات الذين لديهم
الرغبة في التفكير لأن إرادة الاعتقاد بأن البشر لديهم المعرفة التي ستحدد موقفه؛
Contoh: seorang manusia dalam menentukan pilihannya. Seorang gadis yang ingin ikut
jalan-jalan dengan keluarganya, namun disatu sisi dia berkewajiban untuk
belajar. Apabila dia ikut dengan keluarganya maka dia akan ketinggalan
pelajaran. Namun jika dia memilih tetap berangkat sekolah ia akan mendapatkan
ilmu. Dia pun memilih untuk sekolah karena takit ketinggalan pelajaran yang akhirnya
akan menyulitkan dia dalam ujian nanti.
c. Norma yang sifatnya umum tidak ada, yang ada norma
individualistis (subyektifitas);
ج.
القاعدة ذات طابع عام لا وجود لها،
وهذا هو المعاييرالفردية (الذاتية)؛
Contoh: dimana menentukan kebenaran itu tergantung orang dengan alasannya. Seperti
mengatakan kalau seseorang itu rajin. Dengan alasan bahwa anak itu selalu
datang pagi kekelas.
د. ويمكن أن لا تكون الحقيقة في معرفة
بحيث يشمل أتباع الشكوك
Contoh: dimana kebenaran sekarang belum tentu kebenaran esok. Ibu itu beli
gado-gado rasanya enak. Namun saat esok hari ia sakit sariawan ketika ia makan
gado-gado itu terasa perih dan tak ada rasa.
Selain itu gorgias mempunya tiga dalil yang di
kemukakannya:
a.
Nothing
exists, (tak ada sesuatu
yang ada), ini tentu erat hubungannya dengan teori pekembangan abadi dari harekletos;
Contoh: telor ayam dan ayamnya. Dimana apa dahulu yang lebih awal ada.
b.
If
anything existed it could not be known, (kalau ada sesuatu, tentu ia tak dapat diketahui);
Contoh: keberadaan tuhan. Dimana kita tahu tuhan itu ada dengan bukti adanya alam
semesta dan makhluk-makhluknya. Namun tak ada satu orang pun yang tahu tentang
tuhannya tersebut
c.
If
it could be known it could not be communicated to others ( kalau bisa diketahui, ia tentu tak dapat disampaikan
kepada orang lain).[10]
Contoh: hati. Dimana ada suatu perasaan yang tersurat dan tersirat. Yang tersirat
itulah yang tak dapat diberi tahukan kepada orang lain. Melainkan tergntung
seseorang itu merasakan dan mengekspresikannya.
Mengenai hukum itu ia berpendapat bahwa hukum alam adalah
hukum yang kuat. Yang kuat seharusnya tidak di halang-halangi oleh yang lemah,
yang lemah dan di pimpin oleh yang kuat; yang kluat berjalan di muka dan yang
lemah mengikuti dari belakang .
Hippias
adalah tokoh lain dari filosuf sofisme. Ia adalah seorang sofis yang terkemuka
dan luas pengalamannya, sering mengadakan perjalanan dan senang memberikan
pidato-pidato di olimpia. Ia memiliki pengetahuan luas meliputi ilmu pasti,
ilmu astronomi, tata bahasa, mythologi, kesusastraan dan sejarah, sehingga dapat
di katakan bahwa dia adalah satu type dengan seorang sarjana terpelajar dari
zaman hellenistis yang berpengetahuan polyhisioria. Dia adalah seorang sofis
murni yang beranggapan bahwa pengetahuannya harus di kembangkan kepada orang
lain. Seperti socrates, ia sering mengadakan diskusi dengan orang-orang disekelilingnya, sampai di kedai-kedai,
pasar-pasar, mempersoalkan masalah-masalah sejarah, ilmu pengetahuan, filsaft,
dan matematika. [11]
Kaum sofis mendapat pertentangan dari socarates dan plato. Hal itu disebabkan oleh
dugaan bahwa kaum sofis bukanlah kaum intelek. Sebagaimana kata “sofis”
mengandung arti tipuan, hipokret, dan sinis. Menurut par filosuf, mereka adalah
orang-orang yang kurang terpelajar, baik di dalam sains maupun dalam filsafat.
Mereka adalah orang-orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi.
Mereka siap untuk menolong (dengan bayaran) orang-orang yang segan mencari
keadilan. Mereka menjadi pokrol bambu. Mereka ingin dianggap populer dengan
ide-idenya tanpa memperlihatkan sesuatu yang orisinil. Tidak aneh, banyak waktu
yang di gunakan oleh para filosof untuk menentang mereka.[12]
Adapun
contoh: ada seorang gadis berkulit putih, langsing namun kurang tinggi yang
sedang berjalan melewati empat pria yang ada dipinggir jalan itu. Menurut pria
pertama yang bernama Wahyu gadis itu
cantik, karena putih. Sedangkan menurut pria kedua yaitu Udin, gadis itu biasa
saja karena dia kurang menyukai gadis yang berkulit putih. Pria ketiga
mengatakan bahwa tidak tahu, karena dia belum mengenalinya secara mendalam.
Bagi dia wanita cantik itu dapat terlihat dari kebaikan hatinya. Enurut pria
terakhir mengatakan bahwa gadis itu memang cantik wajahnya, karena bersih,
putih, namun sayangnya kurang tinggi. Itulah seperti apa yang telah diungkapkan
kaum sofis. Dimana kebenaran itu ada apabila seseorang itu dapat mempertahankan
argumentasinya.
C. SOCRATES
(470-399 SM)
Ajaran bahwa semua kebenaran itu relatif
telah menggoyahkan teori-teori sains yang telah mapan, mengguncangkan keyakinan
agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekeacauan dalam kehidupan. Inilah
sebabnya Socrates harus bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak
semua kebenaran itu relatif; ada kebenaran yang umum yang dapat dipegang oleh
semua orang. Sebagian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuannya. Sayangnya,
Socrates tidak meninggalkan tulisannya. Ajarannya dapat kita peroleh dari
tulisan murid-muridnya, terutama Plato. Kehidupan Socrates (470-399 SM) berada
di tengah-tengah keruntuhan imperium Athena. Tahun terakhir hidupnya sempat
menyaksikan keruntuhan Athena oleh kehancuran orang-orang oligarki dan
orang-orang demokratis. Dan dasar-dasar lama disekitarnya remuk, kekuasaan
jahat menggantikan keadilan disertai munculnya penguasa-penguasa politik yang
menjadi orang-orang yang sombong dibadingkan dengan penguasa-penguasa
sebelumnya.[13]
Pada saat itu pemuda-pemuda di Athena
dipimpin oleh doktrin relativisme dari kaum sofis, sedangkan Socrates adalah
seorang yang menganut moral yang absolut dan meyakini bahwa menegakkan moral
adalah tugas filosof, yang berpikir berdasarkan idea-idea rasional dan keahlian
dalam pengetahuannya.
Kehancuran Athena dengan Sparta terjadi
antara tahun 421 dan 416 SM. Pada periode ini menyaksikan kebangkitan
Alcibiades yang sekaligus menjadi
penyebab kehancuran Athena, salah seorang murid Socrates. Tetapi ia
bertanggung jawab atas kekalahan Athena
pada tahun 413 di Syracuse. Beberapa negara kecil merampok Athena. Delapan
tahun kemudian orang-orang Sparta
dibawah komando Lysander , menghancurkan Athena. Tahun 404 SM, perang
peloponesia berakhir, menghasilkan Athena takluk di bawah Sparta. Antara tahun
404-403 partai ologarki menguasai Athena. Tiga tiran berkuasa denga tangan besi
dan menggunakan metode teror. Tahun 403 SM demokrasi untuk terakhir kalinya dicoba dibangun,
tetapi itu bukanlah pemerintahan yang bijaksana. Di bawah sponsor merekalah
pada tahun 399 SM Socrates dituduh dengan dua tuduhan: merusak pemuda dan
menolak tuhan-tuhan negara.[14]
Akan tetapi, Kierkegard, bapak
Eksistensialinisme Modern, amat mengagumi Socrates, dan ia menjadikan filsafat
Socrates sebagai model Fisafatnya. Karena Socrates secara konstan menentang
orang –orang sofis pada zaman itu.
Untuk membuktikan tuduhan itu Socrates
diadili oleh pengadilan Athena. Pidato pembelaannya yang ditulis oleh Plato,
berjudul Aphologia, termasuk salah satu bahan penting untuk mengetahuin ajaran Socrates. Dalam
pengadilan itu socrates dinyatakan bersalah dengan mayoritas suara, 280 melawan
220 (281 lawan 220).
Ia dituntut hukuman mati (bertens, 1975: 82).[15]
Bertens (1975: 85-92) menjelaskan ajaran Socrates sebagai berikut.
Ajaran itu diajukan untuk menentang ajaran relativisme sofis. Ia ingin
menegakkan sains dan agama.
Sebenarnya tidak ada banyak perbedaan
antara Socrates dengan orang-orang sofis. Karena Socrates memulai filsafatnya
sama dengan orang sofis yaitu bertolak dari pengalaman sehari-hari. Yang mana filsafat-filsafatnya lebih terarah ke filsafat
yang lebih praktis dan konkret. Oleh Socrates filsafat diarahkan
pada penyelidikan tentang manusia, etika, dan pengalaman hidup sehari-hari,
baik dalam konteks individu
(psikologi), moral dan politik. Akan tetapi ada perbedaan yang
sangat penting antara orang sofis dengan Socrates: Socrates tidak menyetujui
relativisme kaum sofis.
Menurutnya, kebenaran bukanlah sesuatu
yang subjektif dan relatif. Kita dapat menangkap adanya kebenaran yang
objektif, yang tidak tergantung pada individu yang memikirkan atau menggapainya atau aku dan kita. Dalam kehidupan
sehari-hari, ada prilaku yang baik dan yang tidak baik, yang pantas dan yang tidak
pantas untuk dilakukan. Penentuan baik
dan buruk, pantas dan tidaknya tidak
terletak pada kekuatan argumentasi orang per orang, melainkan pada
sesuatu yang sifatnya Universal. Berbuat jahat dimanapun adalah suatu tingkah
laku yang buruk, sedangkan berbuat baik merupakan sesuatu tindakan yang
dianggap sebagai suatu kebaikan. Kebaikan bukan saja akan membawa kebahagian
pada pelakunya, tetapi juga karena dirinya memang baik. Ini adalah merupakan
pusat permasalahan yang dihadapi Socrates. Dari itu bagaimanakah cara seorang Socrates mengetahui
adanya kebenaran yang tidak subjektif itu?.
Untuk membuktikkan adanya kebenaran yang
objektif, Socrates menggunakan metode tertentu. Metode bersifat praktis dan dijalankan melalui
percakapan-percakapannya. Ia menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang
mempunyai pendapat tentang salah dan tidak salah. Misalnya ia bertanya pada
hakim-hakim, negarawan, pedagang, dan sebaginya. Ia selalu bertanya tentang apa
yang diucapkan oleh mereka atau oleh teman bicaranya itu. Jika mereka atau para
negarawan itu berbicara tentang kebaikan dan keadilan, ia kemudian bertanya apa
yang dimaksud dengan adil dan baik itu? Jika mereka bicara tentang keberanian,
ia bertanya apa yang dimaksud dengan berani, pemberani dan pengecut itu? Dan begitu juga seterusnya. Menurut Xenophon ia bertanya tentang
salah-tidak salah, adil-tidak adil, berani dan pengecut, dan lain-lain.
Socrates menganggap jawaban
pertama sebagai hipotesis, dan
dengan jawaban-jawaban lebih lanjut ia
menarik konsekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban
tersebut. Dan begitu seterusnya, serta sering kali terjadi
percakapan dengan aporia (kebingungan).[16]
Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap
berguna.
Socrates sendiri membandingkan metodenya
ini dengan suatu metode seorang bidan dalam membantu persalinan. Bidan memiliki
keahlian dan membantu persalinan, sehingga melalui bantuannya lahirlah seorang
bayi kedunia dengan sehat dari rahim ibunya. Socrates bertindak seperti bidan.
Namun yang dilahirkannya bukanlah seorang bayi, melainkan ide-ide yang
dimilikinya dari
orang-orang yang dibidaninya atau pasiennya. Ia mengaku tidak menyampaikan
pengetahuan, melainkan dengan
pertanyaannya ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain agar
keluar dalam bentuk ide-ide.
Filsafat Socrates juga banyak membahas mengenai masalah-masalah etika. Ia
beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau pun kehormatan, melainkan kesehatan
jiwa. Prasyarat utama dalam hidup manusia adalah jiwa yang sehat. Jiwa manusia
yang sehat terlebih dulu agar tujuan-tujuan hidup lainnya dapat diraih. Tujuan
hidup yang paling utama adalah kebahagian ( eudaimonia / happiness). Namun,
kebahagiaan dalam bahasa yunani bukan dalam arti seperti sekarang, yakni
mencari kesenangan. Kebahagiaan dalam bahasa yunani berarti suatu kesempurnaan (bertens,
1975).[17]
Plato dan Aristoteles setuju dengan pendapat Socrates bahwa eudaimonia
merupakan tujuan utama kehidupan. Jalan atau cara untuk mencapai kebahagiaan
adalah arete (kebajikan). Orang yang bajik adalah orang yang mampu hidup
bahagia.
Socrates mengupayakan sifat umum
keutamaan dengan cara menyebut ciri yang disetujui bersama dan menyisihkan ciri
khusus yang tidak disetujui bersama. Itulah cara membuat definisi tentang suatu
objek. Dari usaha itu Socrates menemukan definisi penemuannya
yang kedua, kata Aristoteles. Tentu
penemuan kedua ini mempunyai
kaitan erat dengan penemuan pertama karena definisi ini diperoleh dengan jalan
mengadakan induksi itu. Bagi Socrates
penemuan ini bukanlah hal yang kecil maknanya; penemuan inilah yang akan
dihantamkan kepada relativisme kaum sofis.[18]
Orang sofis beranggapan bahwa semua
pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat
umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikkan kepada orang sofis bahwa
pengetahuan yang umum ada, yaitu definisi itu. Jadi, orang sofis tidak
seluruhnya benar: yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat umum dan
sebagian bersifat khusus; yang khusus itulah pengetahuan yang kebenarannya
relatif.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh
Socrates, adapun kebenaran yang umum atau unversal yaitu seperti 1 + 1 = 2, itu
adalah suatu kebenaran yang universal. Dimana tidak dapat diganggu gugat
kebenarannya. Karena tidak mungkin 1+1= 5. Adapun suatu kebenaran yang
objektif, yaitu seperti sepatu yang
digunakan di bawah telapak kaki. Saat kita membelinya kita tidak harus bilang “
bang beli sepatu yang dipake di alas kaki”. Karna dengan menyebutkan “ bang beli
sepatu’, abang itu akan langsung memberikannya. Karena memang sepatu itu dipake
di kaki bukan di tangan maupun bagian tubuh lainnya.
PENUTUP
- Kesimpulan
Filsafat yang ada
pada zaman Yunani Klasik itu lebih membahas tentang manusia, etika, moral dan politik.
Dimana terlahir kaum Sofis dan Socrates dalam kajian filsafat pada zaman itu.
Tidak ada
perbedaan yang sangat diantara keduanya. Namun ada satu hal penting yang
membedakan diantara keduannya. Yaitu dimana pemikiran menurut kaum sofis
kebenaran adalah relative; sedangkan menurut Socrates ada kebenaran yang
objektif dan juga universal.
Mazhab sofis yang
tergolong aliran relativisme itu juga memiliki pengaruh yang positif pada zaman
itu dimana melahirkan generasi muda yang pandai dan terampil dalam pidato.
Seiring dengan perkembangan filsafat waktu itu pula banyak tokoh sofis yang
menyalahgunakan peranannya. Sehingga dalam kajian filsafatnya bukan mencari
suatu kebenaran yang mutlak namun hanya mencari kemenangan semata. Sesuai
dengan ajaran pokok dari alirannya.
Sangat berbeda jauh
dengan peranan Socrates, yang mana socrates ingin mencari suatu kebenaran,
keadilan, dan etika yang sebenarnya ada. Bukan karena suatu kemenangan dalam
berdebat namun mencari jawaban yang sebenarnya atas pertanyaan yang ada
dibenaknya serta masyarakat Athena waktu itu. Socrates dalam filsafatnya
mencari pula tentang keadilan yang telah pudar karena doktrin-doktrin kaum
sofisme.
[1]
Dr. Zainal Abidin, Pengantar Filsafat
Barat. Hal. 34
[2]
Ibid, hal. 36
[3] Diane Collinson. Lima puluh Filosofi Dunia Yang
menggerakkan..., hal. 42
[4]Atang Abdul Hakim dan Beni
Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari
Mitologi Sampai filosofi , hal. 172
[5]http//translate.com
[6] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai filosofi , Op.Cit., hal. 173
[7]
Asmoro Ahmad, Filsafat Umum., hal. 47
[8]
Ibid., hal. 47
[9]
Ibid., hal. 48
[10] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai filosofi
. op.cit, hal. 174
[11] Ibid,
hal. 173
[13]
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. Hal. 53
[14]
Ibid, hal 57
[16]
Dr. Zainal Abidin. Pengantar Filsafat
Barat. Op. cit., hal
[18]
Ibid, hal.
terima kasih sungguh membantu, apalagi untuk tambahan ilmu di dalam mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat....^_^
BalasHapus