Free Mega Man Run Cursors at www.totallyfreecursors.com
EL Butar: MAZHAB SOFIS DAN SOCRATES DALAM KAJIAN FILSAFAT

Jumat, 16 November 2012

MAZHAB SOFIS DAN SOCRATES DALAM KAJIAN FILSAFAT


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam perkembangan filsafat pada zaman  Yunani Klasik itu berbeda dari sebelumnya. Pada zaman ini dimana terlahir suatu mazhab, yaitu mazhab sofis yang ada pra Socrates. Dalam kajian filsafatnya kaum sofis itu menjadikan alam sebagai persoalan pokoknya, melainkan persoalan pokok tentang manusia. Dimana manusia adalah ukurun segala-galanya.
Antara kaum sofis dan Socrates dalan kajian filsafatnya itu tidaklah jauh berbeda. Dimana mereka sama-sama membahas entang manusia, etika, moral dan politik. Yang mana jauh dari filsafat sebelumnya. Namun diantara keduanya memiliki satu perbedaan yang sangat penting. Mnurut kaum sofis, suatu kebenaran itu adalah relatif; sedangkan menurut Socrates ada kebenaran yang objektif dan juga universal.
Sesuai dengan arti dari kata sofis yaitu pandai dan cerdik. Mereka kaum sofis adalah orang-orang yang pandai berpidato dan berdebat. Namun pada saat itu kepandaian dan keterampilan mereka dalam berdebat itu disalahgunakan. Dalam filsafatnya menurut kaum sofis kebenaran itu adalah relatif.
Sedangkan dalam filsafat yang dikemukan Socrates yag mana kebenaran itu ada yang objektif dan universal. Dalam metodenya Socrates menggunakan metode dialektika yang artinya bercakap-cakap atau berdialog. Filsafat Socrates juga banyak membahas mengenai masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau pun kehormatan, melainkan kesehatan jiwa. Prasyarat  utama dalam hidup manusia adalah jiwa yang sehat. Dan tujuan hidup yang paling utama adalah kebahagian ( eudaimonia / happiness). Menurut Socrates bahwa eudaimonia merupakan tujuan utama kehidupan. Jalan atau cara untuk mencapai kebahagiaan adalah arete (kebajikan). Orang yang bajik adalah orang yang mampu hidup bahagia.
B.         Perumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan sofis?
2.      Bagaimanakah ajaran filsafat ketika dipengaruhi oleh doktrin-doktrin sofisme?
3.      Siapa sajakah tokoh para sofisme dalam kajian filsafatnya?
4.      Bagaimanakah pemikiran socrates yang berkembang bersamaan dengan mazhab sofis?
5.      Adakah perbedaan antara sofisme dan socrates dalam kajian filsafat?

C.         Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui filsafat pada zaman yunani klasik serta tokohnya
2.      Untuk mengetahui pemikiran filsafat pada mazhab Sofis dan Socrates
3.      Agar bisa mengembangkan pemikiran-pemikiran tentang objek filsafat tersebut
4.      Untuk menegakkan keadilan yang telah pudar dimasyrakat dengan ilmu pengetahuan dalam kajian filsafat
5.      Mencari kebenaran suatu masalah



BAB II
MAZHAB SOFIS DAN SOCRATES DALAM KAJIAN FILSAFAT

  1. Filsafat Para Sofis
Antara abad ke-5 sampai dengan 4 SM, dunia pendidikan dan pengajaran di yunani dijalankan oleh para sofis. Mereka (para sofis) adalah seorang yang sangat mahir berpidato, berdebat sekaligus mendidik pada zaman itu. Para sofis mendidik anak-anak muda  dengan berpidato di pasar-pasar atau pusat keramaian yang dinamakan dengan Agora,  disetiap negara kota  itu dinamakan dengan polis. Pada saat itu di Yunani dalam pendidikan dan pengajarannya diambil alih oleh para sofis.[1]
Ajaran para sofis sangat berbeda dengan para filsuf sebelumnya, para filsafat alam. Para sofis tidak tertarik dengan filsafat alam, ilmu pasti, atau metafisika waktu itu. Mereka menilai filsafat-filsafat sebelumnya terlalu mengawang-awang (terlalu jauh pemikirannya). Para sofis ini lebih tertarik pada hal-hal yang lebih konkret (nyata), seperti halnya: makna hidup manusia, moral, norma, dan politik. Hal-hal inilah yang perlu dianggap perlu diajarkan pada generasi muda yang sebagai penerusnya dan dikembangkan untuk kelangsungan negara.
Namun, kepandaian dan keterampilan para sofis dalam berdebat  itu disalahgunakan. Hal itu dilakukan untuk membalikkan kebenaran-kebenaran dan moralitas-moralitas yang ada dalam kehidupan ini. Sebuah kebenaran dan moralitas pada waktu itu dijadikan sesuatu yang relatif. Para sofis meragukan atas adanya kebenaran yang objektif  dan universal. Karena mereka meragukan segala sesuatu dan dari itu mereka membuat justifikasi sendiri tentang suatu kebenaran yang mereka bangun snediri melalui argumentasi-argumentasi yang subjektif (Bertens, 1975). Akibat dari itu semua adalah semua orang dianggap memiliki kebenran sendiri, dimana sejauh mereka memiliki kemampuan dalam berargumentasi dalam perdebatan tersebut[2].
Pemikiran-pemikiran mereka yang terfokuskan dan terarah pada manusia itu, membawa mereka pada keyakinan bahwa manusia merupakan ukuran segala-galanya. Tidak ada nilai yang baik, benar, atau indah dalam dirinya sendiri. Semuanya akan dianggap baik, benar dan indah apabila dihubungkan dengan persepsi individu masing-masing. Akibatnya yaitu bahwa tidak ada suatu keniscayaan, tidak ada kebenaran yang objektif dan universal. Semuanya adalah relatif. Para sofis memberi tekanan pada relativisme nilia. Oleh karena itu, sendi-sendi kepastian dan keyakinana moral dan hukum dalammasyarakat Yunani menjadi terancam.
Meski nama-nama sofis diasosiasikan dengan hal-hal yang negative karena pandangan-pandangannya yang relativistik. Namun harus diakui bahwa tidak semua kaum sofis berpikiran seperti demikian itu. Tokoh-tokoh seperti Pratogoras (490-420 SM), dan Hippias ( 460 SM). Mereka adalah tokoh-tokoh yang relatif berwibawa dan terkemuka pada saat itu dan memiliki reputasi baik dan positif. Disamping itu, ajaran para sofis pun sangat berharga bagi perkembangan filsafat Yunani, sehingga tidak dapat diabaikan sumbangannya bagi sejarah filsafat Yunani. Pengaruh mereka sangat besar dalam filsafat Yunani seperti Socrates (470-399 SM), Plato (428/427-348/347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM) lahir pada zaman para sofis hidup dan dibnesarkan di antara mereka[3].
Pokok- pokok ajaran kaum sofis  sebagai berikut[4]:
a.    Manusia menjadi ukuran segala-galanya;
b.    Kebenaran hanya berlaku sementara;
c.    Kebenaran tidak terdapat pada diri sendiri.
Dengan ajaran demikian, yang telah dijelaskan sebelumnya diatas sofisme tergolong aliran relatifisme. Ajaran sofisme juga memiliki pengaruh yang baik waktu itu, yaitu melahirkan banyak orang terampil berpidato. Di samping itu, akal manusia di hargai. Akan tetapi, negatifnya ajaran ini menjadikan orang tidak bertanggung jawab atas ucapannya, sebab apa yang di katakan hari ini untuk sesuatu,  bisa saja untuk hari besoknya berlainan dengan dalih bahwa kebenaran hanya berlaku sementara.
مع مثل هذه التعاليم، التي تنتمي الى تدفق مغالطة ivisme relat. تعاليم مغالطة أيضا أن يكون لها الوقت المناسب، والتي أنتجت العديد من الأشخاص ذوي المهارات الكلام. وبالإضافة إلى ذلك، في احترام العقل البشري. ومع ذلك، فإن الجانب السلبي من هذا التعليم يجعل الناس ليست مسؤولة عن كلماته، وذلك لأن ما يقال اليوم على شيء، فإنه يمكن أن تكون مختلفة في اليوم التالي ليوم بحجة أن الحقيقة ليست سوى تأثير مؤقت.[5]

B.     Para tokoh Sofis
1.      Pytagoras
Adalah salah satu filosof sofisme yang lahir kira-kira tahun 500SM  di Abdrea. Menurut pemikiran filsafat sofis, orang adalah ukuran segala sesuatu tentang adanya yang ada dan tentang tidak adanya yang tidak ada. Ini dapat di tafsirkan bahwa setiap orang adalah ukuran segala sesuatu, dan jika terjadi pertentangan, tak ada kebenaran objektif sesuai dengan yang di tentukan mana yang benar dan mana yang salah. Ajaran ini meskipun sangat skeptis dalam masalah pengetahuan, ia sangat praktis menghadapi tradisi dan adat istiadat.[6]
Salah Satu tokoh sofisme adalah georgias (480-3800SM). Gorgias tokoh sofisme yang paling banyak muridnya, walaupun masih banyak lagi tokoh yang kecil, misalnya hippias, prodikos, dan kritias.[7]

2.      Gorgias (480-380SM)
Ia lahir di leontinoi, sicilia. Namanya menjadi terkenal karena ajarannyta dalam bidang retorika atau seni berpidato, dan memang ia sangat pandai berdebat.
Menurut pendapatnya, yang paling penting adalah bagaimana dapat meyakinkan orang lain agar menerima pendapat kita. Dengan demikian, dalam berdebat bukan mencari kebenaran,  tetapi bagaimana memenangkan perdebatan.[8] Misalnya; dalam suatu kelas ada sebuah diskusi. Didalam diskusi itu terkadang bukanlah mencari kebenaran tapi mencari kemenangan dan agar diakui oleh teman-temannya dalam berpendapat.

Pemikirannya yang penting adalah :
a.     Mencari keterangan tentang asal-usul yang ada;
أ‌.         معرفة أصول القائمة؛

Contoh: ada sebuah artefak disuatu daerah. Dari situ dicarilah keberadaannya, sejak kapan artefak itu ada, dan bagaimana itu ada serta fungsinya dimasyarakat lampau itu apa. Dengan menganalisis dan mengumpulkan data untuk membuktikannya

b.    Bagaimana peran manusia sebagai mahluk yang mempunyai kehendak berfikir karena dengan kehendak berfikir itulah manusia mempunyai pengetahuan yang nantinya  akan menentukan sikap hidupnya;
ب.  كيف يمكن للدور البشر بوصفهم كائنات الذين لديهم الرغبة في التفكير لأن إرادة الاعتقاد بأن البشر لديهم المعرفة التي ستحدد موقفه؛
Contoh: seorang manusia dalam menentukan pilihannya. Seorang gadis yang ingin ikut jalan-jalan dengan keluarganya, namun disatu sisi dia berkewajiban untuk belajar. Apabila dia ikut dengan keluarganya maka dia akan ketinggalan pelajaran. Namun jika dia memilih tetap berangkat sekolah ia akan mendapatkan ilmu. Dia pun memilih untuk sekolah karena takit ketinggalan pelajaran yang akhirnya akan menyulitkan dia dalam ujian nanti.
c.    Norma yang sifatnya umum tidak ada, yang ada norma individualistis (subyektifitas);
 ج. القاعدة ذات طابع عام لا وجود لها، وهذا هو المعاييرالفردية (الذاتية)؛
Contoh: dimana menentukan kebenaran itu tergantung orang dengan alasannya. Seperti mengatakan kalau seseorang itu rajin. Dengan alasan bahwa anak itu selalu datang pagi kekelas.

d.   Bahwa kebenaran tidak dapat di ketahui sehingga ia termasuk penganut skeptisisme.[9]
د. ويمكن أن لا تكون الحقيقة في معرفة بحيث يشمل أتباع الشكوك

Contoh: dimana kebenaran sekarang belum tentu kebenaran esok. Ibu itu beli gado-gado rasanya enak. Namun saat esok hari ia sakit sariawan ketika ia makan gado-gado itu terasa perih dan tak ada rasa.

Selain itu gorgias mempunya tiga dalil yang di kemukakannya:
a.    Nothing exists, (tak ada sesuatu yang ada), ini tentu erat hubungannya dengan teori pekembangan abadi dari harekletos;
Contoh: telor ayam dan ayamnya. Dimana apa dahulu yang lebih awal ada.
b.    If anything existed it could not be known, (kalau ada sesuatu, tentu ia tak dapat diketahui);
Contoh: keberadaan tuhan. Dimana kita tahu tuhan itu ada dengan bukti adanya alam semesta dan makhluk-makhluknya. Namun tak ada satu orang pun yang tahu tentang tuhannya tersebut
c.    If it could be known it could not be communicated to others ( kalau bisa diketahui, ia tentu tak dapat disampaikan kepada orang lain).[10]
Contoh: hati. Dimana ada suatu perasaan yang tersurat dan tersirat. Yang tersirat itulah yang tak dapat diberi tahukan kepada orang lain. Melainkan tergntung seseorang itu merasakan dan mengekspresikannya.
Mengenai hukum itu ia berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang kuat. Yang kuat seharusnya tidak di halang-halangi oleh yang lemah, yang lemah dan di pimpin oleh yang kuat; yang kluat berjalan di muka dan yang lemah mengikuti dari belakang .
Hippias adalah tokoh lain dari filosuf sofisme. Ia adalah seorang sofis yang terkemuka dan luas pengalamannya, sering mengadakan perjalanan dan senang memberikan pidato-pidato di olimpia. Ia memiliki pengetahuan luas meliputi ilmu pasti, ilmu astronomi, tata bahasa, mythologi, kesusastraan dan sejarah, sehingga dapat di katakan bahwa dia adalah satu type dengan seorang sarjana terpelajar dari zaman hellenistis yang berpengetahuan polyhisioria. Dia adalah seorang sofis murni yang beranggapan bahwa pengetahuannya harus di kembangkan kepada orang lain. Seperti socrates, ia sering mengadakan diskusi dengan orang-orang  disekelilingnya, sampai di kedai-kedai, pasar-pasar, mempersoalkan masalah-masalah sejarah, ilmu pengetahuan, filsaft, dan matematika. [11]
Kaum sofis mendapat pertentangan dari socarates dan plato. Hal itu disebabkan oleh dugaan bahwa kaum sofis bukanlah kaum intelek. Sebagaimana kata “sofis” mengandung arti tipuan, hipokret, dan sinis. Menurut par filosuf, mereka adalah orang-orang yang kurang terpelajar, baik di dalam sains maupun dalam filsafat. Mereka adalah orang-orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi. Mereka siap untuk menolong (dengan bayaran) orang-orang yang segan mencari keadilan. Mereka menjadi pokrol bambu. Mereka ingin dianggap populer dengan ide-idenya tanpa memperlihatkan sesuatu yang orisinil. Tidak aneh, banyak waktu yang di gunakan oleh para filosof untuk menentang mereka.[12]
Adapun contoh: ada seorang gadis berkulit putih, langsing namun kurang tinggi yang sedang berjalan melewati empat pria yang ada dipinggir jalan itu. Menurut pria pertama yang bernama  Wahyu gadis itu cantik, karena putih. Sedangkan menurut pria kedua yaitu Udin, gadis itu biasa saja karena dia kurang menyukai gadis yang berkulit putih. Pria ketiga mengatakan bahwa tidak tahu, karena dia belum mengenalinya secara mendalam. Bagi dia wanita cantik itu dapat terlihat dari kebaikan hatinya. Enurut pria terakhir mengatakan bahwa gadis itu memang cantik wajahnya, karena bersih, putih, namun sayangnya kurang tinggi. Itulah seperti apa yang telah diungkapkan kaum sofis. Dimana kebenaran itu ada apabila seseorang itu dapat mempertahankan argumentasinya.

C.    SOCRATES (470-399 SM)
Ajaran bahwa semua kebenaran itu relatif telah menggoyahkan teori-teori sains yang telah mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Ini menyebabkan kebingungan dan kekeacauan dalam kehidupan. Inilah sebabnya Socrates harus bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak semua kebenaran itu relatif; ada kebenaran yang umum yang dapat dipegang oleh semua orang. Sebagian kebenaran memang relatif, tetapi tidak semuannya. Sayangnya, Socrates tidak meninggalkan tulisannya. Ajarannya dapat kita peroleh dari tulisan murid-muridnya, terutama Plato. Kehidupan Socrates (470-399 SM) berada di tengah-tengah keruntuhan imperium Athena. Tahun terakhir hidupnya sempat menyaksikan keruntuhan Athena oleh kehancuran orang-orang oligarki dan orang-orang demokratis. Dan dasar-dasar lama disekitarnya remuk, kekuasaan jahat menggantikan keadilan disertai munculnya penguasa-penguasa politik yang menjadi orang-orang yang sombong dibadingkan dengan penguasa-penguasa sebelumnya.[13]
Pada saat itu pemuda-pemuda di Athena dipimpin oleh doktrin relativisme dari kaum sofis, sedangkan Socrates adalah seorang yang menganut moral yang absolut dan meyakini bahwa menegakkan moral adalah tugas filosof, yang berpikir berdasarkan idea-idea rasional dan keahlian dalam pengetahuannya.
Kehancuran Athena dengan Sparta terjadi antara tahun 421 dan 416 SM. Pada periode ini menyaksikan kebangkitan Alcibiades  yang sekaligus menjadi penyebab kehancuran Athena, salah seorang murid Socrates. Tetapi ia bertanggung  jawab atas kekalahan Athena pada tahun 413 di Syracuse. Beberapa negara kecil merampok Athena. Delapan tahun kemudian orang-orang Sparta  dibawah komando Lysander , menghancurkan Athena. Tahun 404 SM, perang peloponesia berakhir, menghasilkan Athena takluk di bawah Sparta. Antara tahun 404-403 partai ologarki menguasai Athena. Tiga tiran berkuasa denga tangan besi dan menggunakan metode teror. Tahun 403 SM demokrasi  untuk terakhir kalinya dicoba dibangun, tetapi itu bukanlah pemerintahan yang bijaksana. Di bawah sponsor merekalah pada tahun 399 SM Socrates dituduh dengan dua tuduhan: merusak pemuda dan menolak tuhan-tuhan negara.[14]
Akan tetapi, Kierkegard, bapak Eksistensialinisme Modern, amat mengagumi Socrates, dan ia menjadikan filsafat Socrates sebagai model Fisafatnya. Karena Socrates secara konstan menentang orang –orang sofis pada zaman itu.
Untuk membuktikan tuduhan itu Socrates diadili oleh pengadilan Athena. Pidato pembelaannya yang ditulis oleh Plato, berjudul Aphologia, termasuk salah satu bahan penting  untuk mengetahuin ajaran Socrates. Dalam pengadilan itu socrates dinyatakan bersalah dengan mayoritas suara, 280 melawan 220 (281 lawan 220). Ia dituntut hukuman mati (bertens, 1975: 82).[15]
Bertens (1975: 85-92) menjelaskan ajaran Socrates sebagai berikut. Ajaran itu diajukan untuk menentang ajaran relativisme sofis. Ia ingin menegakkan sains dan agama.
Sebenarnya tidak ada banyak perbedaan antara Socrates dengan orang-orang sofis. Karena Socrates memulai filsafatnya sama dengan orang sofis yaitu bertolak dari pengalaman sehari-hari. Yang mana filsafat-filsafatnya lebih terarah ke filsafat yang lebih praktis dan konkret. Oleh Socrates filsafat diarahkan pada penyelidikan tentang manusia, etika, dan pengalaman hidup sehari-hari, baik dalam konteks individu (psikologi), moral dan politik. Akan tetapi ada perbedaan yang sangat penting antara orang sofis dengan Socrates: Socrates tidak menyetujui relativisme kaum sofis.
Menurutnya, kebenaran bukanlah sesuatu yang subjektif dan relatif. Kita dapat menangkap adanya kebenaran yang objektif, yang tidak tergantung pada individu yang memikirkan atau menggapainya atau aku dan kita. Dalam kehidupan sehari-hari, ada prilaku yang baik dan yang tidak baik, yang pantas dan yang tidak pantas untuk dilakukan. Penentuan  baik dan buruk, pantas dan tidaknya tidak  terletak pada kekuatan argumentasi orang per orang, melainkan pada sesuatu yang sifatnya Universal. Berbuat jahat dimanapun adalah suatu tingkah laku yang buruk, sedangkan berbuat baik merupakan sesuatu tindakan yang dianggap sebagai suatu kebaikan. Kebaikan bukan saja akan membawa kebahagian pada pelakunya, tetapi juga karena dirinya memang baik. Ini adalah merupakan pusat permasalahan yang dihadapi Socrates. Dari itu bagaimanakah cara seorang Socrates mengetahui adanya kebenaran yang tidak subjektif itu?.
 Untuk membuktikkan adanya kebenaran yang objektif, Socrates menggunakan metode tertentu. Metode  bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapannya. Ia menganalisis pendapat-pendapat. Setiap orang mempunyai pendapat tentang salah dan tidak salah. Misalnya ia bertanya pada hakim-hakim, negarawan, pedagang, dan sebaginya. Ia selalu bertanya tentang apa yang diucapkan oleh mereka atau oleh teman bicaranya itu. Jika mereka atau para negarawan itu berbicara tentang kebaikan dan keadilan, ia kemudian bertanya apa yang dimaksud dengan adil dan baik itu? Jika mereka bicara tentang keberanian, ia bertanya apa yang dimaksud dengan berani, pemberani dan pengecut itu? Dan begitu juga seterusnya.  Menurut Xenophon ia bertanya tentang salah-tidak salah, adil-tidak adil, berani dan pengecut, dan lain-lain. Socrates menganggap jawaban pertama sebagai hipotesis,  dan dengan  jawaban-jawaban lebih lanjut ia menarik konsekuensi-konsekuensi yang dapat disimpulkan dari jawaban tersebut.  Dan begitu seterusnya, serta sering kali terjadi percakapan dengan aporia (kebingungan).[16] Akan tetapi, tidak jarang dialog itu menghasilkan suatu definisi yang dianggap berguna.
Socrates sendiri membandingkan metodenya ini dengan suatu metode seorang bidan dalam membantu persalinan. Bidan memiliki keahlian dan membantu persalinan, sehingga melalui bantuannya lahirlah seorang bayi kedunia dengan sehat dari rahim ibunya. Socrates bertindak seperti bidan. Namun yang dilahirkannya bukanlah seorang bayi, melainkan ide-ide yang dimilikinya dari orang-orang yang dibidaninya atau pasiennya. Ia mengaku tidak menyampaikan pengetahuan, melainkan  dengan pertanyaannya ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam jiwa orang lain agar keluar dalam bentuk ide-ide.
Filsafat Socrates juga banyak membahas mengenai masalah-masalah etika. Ia beranggapan bahwa yang paling utama dalam kehidupan bukanlah kekayaan atau pun kehormatan, melainkan kesehatan jiwa. Prasyarat utama dalam hidup manusia adalah jiwa yang sehat. Jiwa manusia yang sehat terlebih dulu agar tujuan-tujuan hidup lainnya dapat diraih. Tujuan hidup yang paling utama adalah kebahagian ( eudaimonia / happiness). Namun, kebahagiaan dalam bahasa yunani bukan dalam arti seperti sekarang, yakni mencari kesenangan. Kebahagiaan dalam bahasa yunani berarti suatu kesempurnaan (bertens, 1975).[17] Plato dan Aristoteles setuju dengan pendapat Socrates bahwa eudaimonia merupakan tujuan utama kehidupan. Jalan atau cara untuk mencapai kebahagiaan adalah arete (kebajikan). Orang yang bajik adalah orang yang mampu hidup bahagia.
Socrates mengupayakan sifat umum keutamaan dengan cara menyebut ciri yang disetujui bersama dan menyisihkan ciri khusus yang tidak disetujui bersama. Itulah cara membuat definisi tentang suatu objek. Dari usaha itu Socrates menemukan definisi penemuannya yang kedua, kata Aristoteles.  Tentu penemuan kedua ini mempunyai kaitan erat dengan penemuan pertama karena definisi ini diperoleh dengan jalan mengadakan induksi itu. Bagi Socrates penemuan ini bukanlah hal yang kecil maknanya; penemuan inilah yang akan dihantamkan kepada relativisme kaum sofis.[18]
Orang sofis beranggapan bahwa semua pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikkan kepada orang sofis bahwa pengetahuan yang umum ada, yaitu definisi itu. Jadi, orang sofis tidak seluruhnya benar: yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat umum dan sebagian bersifat khusus; yang khusus itulah pengetahuan yang kebenarannya relatif. 
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Socrates, adapun kebenaran yang umum atau unversal yaitu seperti 1 + 1 = 2, itu adalah suatu kebenaran yang universal. Dimana tidak dapat diganggu gugat kebenarannya. Karena tidak mungkin 1+1= 5. Adapun suatu kebenaran yang objektif,  yaitu seperti sepatu yang digunakan di bawah telapak kaki. Saat kita membelinya kita tidak harus bilang “ bang beli sepatu yang dipake di alas kaki”. Karna dengan menyebutkan “ bang beli sepatu’, abang itu akan langsung memberikannya. Karena memang sepatu itu dipake di kaki bukan di tangan maupun bagian tubuh lainnya.

PENUTUP
  1. Kesimpulan
Filsafat yang ada pada zaman Yunani Klasik itu lebih membahas tentang manusia, etika, moral dan politik. Dimana terlahir kaum Sofis dan Socrates dalam kajian filsafat pada zaman itu. Tidak ada perbedaan yang sangat diantara keduanya. Namun ada satu hal penting yang membedakan diantara keduannya. Yaitu dimana pemikiran menurut kaum sofis kebenaran adalah relative; sedangkan menurut Socrates ada kebenaran yang objektif dan juga universal.
Mazhab sofis yang tergolong aliran relativisme itu juga memiliki pengaruh yang positif pada zaman itu dimana melahirkan generasi muda yang pandai dan terampil dalam pidato. Seiring dengan perkembangan filsafat waktu itu pula banyak tokoh sofis yang menyalahgunakan peranannya. Sehingga dalam kajian filsafatnya bukan mencari suatu kebenaran yang mutlak namun hanya mencari kemenangan semata. Sesuai dengan ajaran pokok dari alirannya.
Sangat berbeda jauh dengan peranan Socrates, yang mana socrates ingin mencari suatu kebenaran, keadilan, dan etika yang sebenarnya ada. Bukan karena suatu kemenangan dalam berdebat namun mencari jawaban yang sebenarnya atas pertanyaan yang ada dibenaknya serta masyarakat Athena waktu itu. Socrates dalam filsafatnya mencari pula tentang keadilan yang telah pudar karena doktrin-doktrin kaum sofisme.


[1] Dr. Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat. Hal. 34
[2] Ibid, hal. 36
[3] Diane Collinson. Lima puluh Filosofi Dunia Yang menggerakkan..., hal. 42
[4]Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai filosofi , hal. 172
[5]http//translate.com
[6] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai filosofi , Op.Cit., hal. 173
[7] Asmoro Ahmad, Filsafat Umum., hal. 47
[8] Ibid., hal. 47
[9] Ibid., hal. 48
[10]  Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani. Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai filosofi . op.cit, hal. 174
[11] Ibid,  hal. 173

[12] Ahmad syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum., 2004. Hal. 59-62.

[13] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. Hal. 53
[14] Ibid, hal 57
[15] Hassan, 1973. Hal. 74.
[16] Dr. Zainal Abidin. Pengantar Filsafat Barat.  Op. cit., hal
[17] Ibid.,, hal.
[18] Ibid, hal. 

1 komentar:

  1. terima kasih sungguh membantu, apalagi untuk tambahan ilmu di dalam mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat....^_^

    BalasHapus